Syaikh Abdurrahman as Sa’di mengatakan, “Siapa saja yang memberikan hadiah karena malu atau takut maka wajib bagi orang yang diberi hadiah untuk menolak pemberian tersebut atau menerimanya namun membalas hadiah tersebut dengan yang senilai” [al Qawaid wal Ushul al Jamiah yang dicetak bersama ta’liq Ibnu Utsaimin hal 42].
Ibnu Utsaimin menjelaskan pernyataan Syaikh Ibnu Sa’di di atas dengan mengatakan, “Jika ada orang yang member hadiah karena malu [baca: tawaran basa basi, sungkan dan pekewuh] maka wajib atas orang yang diberi hadiah untuk menolak pemberian dan tawaran tersebut dengan mengatakan secara tegas ‘saya tidak menginginkan pemberian semacam itu’. Diantara contoh nyata hal ini adalah tawaran untuk mampir ke rumah untuk makan atau ngopi dalam kondisi orang yang diberi tawaran mengetahui bahwa motivasi adanya tawaran adalah orang tersebut malu jika tidak memberikan tawaran. Dalam kondisi semacam ini orang yang ditawari seharusnya tidak menerima tawaran bahkan tidak boleh menerima tawaran. Tawaran semacam ini sering terjadi. Ketika ada orang yang keluar dari rumahnya dalam rangka suatu keperluan di jalan dia lihat temannya ada di depan pintu rumah maka sang teman lantas memberikan tawaran dengan mengatakan ‘Mari mampir’ dan tawaran tersebut sekedar basa basi bukan serius menginginkan agar orang tadi mampir. Mampir ke rumahnya dalam keadaan semacam ini hukumnya haram karena tawaran tersebut bukanlah tawaran tulus namun sekedar basa basi” [Ta’liq Ibnu Utsaimin untuk al Qawaid wal Ushul Jamiah karya Ibnu Sa’di hal 42].
عَنْ أَبِى حَرَّةَ الرَّقَاشِىِّ عَنْ عَمِّهِ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « لاَ يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلاَّ عَنْ طِيبِ نَفْسٍ ».
Dari Abu Harrah ar Raqasyi dari pamannya, Nabi bersabda, “Tidaklah halal harta seorang muslim kecuali jika dia berikan dengan sepenuh kerelaan hatinya” [HR Daruquthni dalam sunannya no 92].
Hadits inilah yang menjadi dasar perkataan Ibnu Sa’di di atas. Dalam hadits ini dengan tegas Nabi sampaikan bahwa harta milik orang lain itu tidak boleh kita ambil dan kita manfaatkan kecuali jika dia memberikannya kepada kita dengan sepenuh kerelaan hati. Jika dia berikan kepada kita karena malu, sungkan, pekewuh atau pun takut dengan kita maka pemberiannya adalah hadiah yang tidak halal bagi ini.
Jika kita dihadapkan pada situasi semacam ini maka Syaikh Ibnu Sa’di -sebagaimana dalam kutipan di atas-memberikan dua pilihan sikap.
Pertama, menolak pemberian atau tawaran tersebut secara baik baik.
Kedua, saat itu bisa kita terima namun di kemudian hari kita wajib membalas pemberiannya dengan pemberian yang senilai atau lebih baik dibandingkan pemberiannya.
Artikel www.PengusahaMuslim.com